Menyimak perdebatan mengenai film Merah Putih:One for All di dunia maya dan nyata, penulis teringat atas suatu film yang didanai oleh Fasilitasi Bidang Kebudayaan tahun 2021.
Penulis, yang pernah mendapatkan Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020, tak mendaftar Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2021 karena tak bisa secara administrasi dan kebijakan Direktorat Jenderal lebih memfokuskan menggali wilayah yang kurang indeks kebudayaannya. Salah satu penerima Fasilitasi Bidang Kebudayaan adalah Sastra Papua Senja dan membuat film menarik yaitu Tom dan Regi yang mendapatkan pendanaan Rp 395 juta rupiah.
Ketika penulis menonton animasi Tom dan Regi, penulis sempat mempertanyakan mengapa anggaran sebanyak itu kualitasnya bisa menghasilkan animasi yang lebih bagus? Namun setelah penulis penggali lagi apa mengenai latar belakang pengembangannya dan konteks cerita tersebut, penulis mulai mengapresiasi pembuatan animasi tersebut.
Komunitas Sastra Papua Senja berasal dari Manokwari di Provinsi Papua Barat dan sudah melakukan aktivitas seni dan sastra sejak 2017. Mereka ikut bergerak mengedukasi masyarakat termasuk anak-anak mengenai masalah buta huruf di Kawasan mereka. Masalah literasi di Papua dan Papua Barat cukup pelik termasuk masalah minuman keras sehingga perlu diperkenalkan cerita yang bisa diterima anak-anak. Mereka pun mengusulkan untuk mengadaptasi cerita Kota Emas karya Pdt.Ishak Samuel Kijne, tokoh perintis penyebar Kristen dan Pendidikan di tanah Papua. Ia menulis banyak hal termasuk cerita anak Kota Emas yang merupakan karya ketigabelas dari Pdt.Ishak Samuel Kijne di tahun 1969. Selain tulisan, karya lagu Pdt.Ishak Samuel Kijne, Hai Tanah Papua, dipakai oleh kaum nasionalis Papua sebagai lagu kebangsaan Papua Barat dan sampai sekarang dipakai oleh kelompok-kelompok Papua Merdeka sebagai lagu kebangsaan mereka.
Kota Emas berkisah tentang Tom dan Regi melihat adanya kota terang. Mereka pun mencari kota emas bersama sahabat-sahabat hewan mereka. Cerita ini memiliki nilai spiritual dan moral yang bagus untuk anak-anak khususnya anak-anak Papua. Nama Regina diambil dari nama istri dari Pdt.Ishak Samuel Kijne dan Tom adalah Thom Wospakrik, asisten utama pendeta Ishak Samuel Kijne, yang menjadi tokoh pendidikan di Papua. Tom dan Regi mewakili kedua budaya antara barat dan timur. Ketua Komunitas Sastra Papua Senja meneliti cerita Kota Emas sejak 2015 berdasarkan skripsinya dan sudah memiiki basis pemahaman untuk cerita animasi ini.
Dalam fasilitasi bidang kebudayaan dan selanjutnya Dana Indonesiana, ada 3 tahap yaitu Program Penciptaan Karya Kreatif, Peningkatan Kapasitas, dan Diseminasi. Anggaran akan dibagi ketiga sektor berdasarkan pengalaman saya yang mengikuti Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 dan Dana Indonesiana 2023. Program Penciptaan Karya Kreatif yang dilakukan Sastra Papua Senja memakai pengisi suara dan pembuatan animasi dari Manokwari sehingga potensi penciptaan kreatif animasi dimaksimalkan di Kawasan Papua Barat. Begitu juga penelitian dan wawancara secara informasi-informasi kisah dibalik Tom dan Regi dimiliki mereka. Program diseminasi dilakukan ketika perilisan ataupun pemutaran di berbagai daerah Papua.
Anak-anak Manokwari, Pemerintah Papua Barat, dan Dirjen Kebudayaan menyambut baik kehadiran film animasi tersebut. Produksi film Tom dan Regi tentu tak bisa disamakan dengan produksi film animasi buatan Jawa dan Bali secara mereka dari Manokwari masih merintis. Film ini tak ada yang membahas di tingkat nasional padahal ini tonggak penting dalam sejarah animasi Indonesia khususnya Papua. Warganet perlu menonton film animasi ini untuk memahami cerita dari Papua sebagai upaya memahami Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Tautan film ada di sini : https://www.youtube.com/watch?v=Vv4POMLv8F8